Pada 23 Juli 1903 dibentuk Undang-Undang tentang Desentralisasi (Decentralisatie Wet). Berdasarkan undang-undang tersebut, maka dikeluarkanlah keputusan tentang Desentralisasi (Decentralisatie Besluit) pada 1905. Decentralisatie Wet dan Decentralisatie Besluit ini melahirkan pemerintah lokal administratif dan juga pemerintahan lokal otonom untuk gewest, gemeente dan plaatselijke. Perlu diketahui bahwa pemerintah lokal ini bersifat otonom dengan model sistem Eropa. Pada 1922, dilakukan pembaharuan pemerintahan melalui Undang-Undang yang baru, yaitu Bestuurshervorming Wet yang kemudian melahirkan Indische Staatsregeling pada 1925. Melalui kedua peraturan ini, maka dikeluarkan tiga ordonasi ; Provincie Ordonnantie 1924, Regentschap Ordonnantie 1924 dan Stadsgemeente Ordonnantie. Berdasarkan tiga ordonasi tersebut, terbentuklah pemerintah lokal administratif sekaligus pemerintah lokal otonom provinsi, kabupaten dan kotapraja. Kewedanaan adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan. Bentuk wilayah ini berlaku pada masa Hindia-Belanda. Pemimpin kewedanaan disebut dengan wedana. Pada masa kolonial sekitar 1831-1942, dalam menjalankan pemerintahan dipusat kabupaten, Bupati dibantu oleh sejumlah pejabat bawahannya. Mereka tinggal di ibukota kabupaten. Ketika Undang-Undang Bestuurshervorming Wet dan Indische Staatsregeling ini berlaku, Kabupaten Karawang diperintah oleh Bupati R. T. A. Ganda Nagara (1911-1925), bupati terakhir keturunan Singaperbangsa. Pemberlakuan undang-undang tersebut menyebabkan Karawang tidak lagi berstatus sebagai keresidenan, tetapi hanya sebagai afdeling/kabupaten, bagian dari wilayah Keresidenan Batavia. Afdeeling/kabupaten itu terdiri atas 7 distrik, yaitu Karawang, Purwakarta, Cikampek, Rengasdengklok, Subang, Sagalaherang, dan Pamanukan. Sejalan dengan pembentukan Provincie West Java - provinsi pertama yang dibentuk di Pulau Jawa yang diresmikan tanggal 1 Januari 1926, pemerintahan Kabupaten Karawang dikukuhkan kembali. Waktu itu Kabupaten Karawang dipimpin oleh Bupati R. T. A. Suriamiharja (1925 - 1942). Provinsi Jawa Barat saat itu beribukota di Batavia (Jakarta) terdiri dari Keresidenan Bantam (Banten), Keresidenan Batavia (Jakarta), Keresidenan Buitenzorg (Bogor), Keresidenan Priangan dan Keresidenan Cheribon (Cirebon). Keresidenan Batavia terdiri dari Kota Batavia, Kabupaten Meester Cornelis (Jatinegara) dan Kabupaten Krawang (beribukota di Purwakarta). Setiap kabupaten terdiri dari beberapa kewedanaan (districten) yang terbagi lagi kedalam beberapa kecamatan (oderdistricten). Menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, susunan adminitrasi pemerintahan Kabupaten Krawang (Karawang) tahun 1936 sebagai berikut : 1. Kewedanaan Poerwakarta terdiri dari Kecamatan Poerwakarta, Wanajasa, Plered, dan Tjampaka. 2. Kewedanaan Tjikampek terdiri dari Kecamatan Tjikampek, Telagasari, Djatisari, Tjilamaja. 3. Kewedanaan Krawang terdiri dari Kecamatan Krawang, Klari, Teloekdjambe, Pangkalan. 4. Kewedaan Rengasdengklok terdiri dari Kecamatan Rengasdengklok, Pedes, Batoedjaja, Rawamerta. 5. Kewedanaan Soebang terdiri dari Kecamatan Soebang, Kalidjati. 6. Kewedaan Sagalaherang terdiri dari Kecamatan Sagalaherang, Tjisalak 7. Kewedanaan Pamanoekan terdiri dari Kecamatan Pamanoekan, Binong, Tjiasem. 8. Kewedaan Pegaden terdiri dari Kecamatan Pegaden, Poerwadadi, Paboearan. Pembangunan Eks-Kantor Kawedanaan ini diperkirakan pada sekitar tahun 1922-1925 atau pada saat diberlakukannya tiga ordonasi sebagai bentuk tatanan otoritas pemerintah administrasi dan lokal. Pada saat itu Karawang berada di bawah koordinasi Batavia sebagai karesidenan. Peristiwa Kemerdekaan Hari Kamis pagi tanggal 16 Agustus 1945, seorang anggota Peta Chudan Rengasdengklok mendatangi rumah Soncho R. Soejono Hadipranoto. “Ketika itu saya kaget karena tidak biasanya,” begitu Soejono Hadipranoto mengungkapkan pengalamannya saat ditemui di Kantor Wakil Presiden Sultan Hamengkubowono IX di Jalan Prapatan, Jakarta pada bulan Agustus 1980 menjelang Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-35. Belum lagi sempat bertanya maksud dan tujuan kedatangannya, anggota Peta tersebut sudah lebih dulu menyampaikan perintah dari atasannya: “Tuan Soncho, sekarang juga diminta datang ke Chudan, ada pembicaraan penting,” katanya. Mendengar permintaan itu, Soejono makin bingung. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan dipanggil ke Chudan sepagi itu. Apakah panggilan ini ada hubungannya dengan rencana pertemuan yang akan diselenggarakan di pendopo kewedanaan? Pada siang hari itu di Rengasdengklok akan berlangsung pertemuan membicarakan tentang cadangan padi yang berhasil dikumpulkan dari para petani. Rencananya, pertemuan tersebut akan dihadiri Syuchokan (Residen) Jakarta, Soetarjo Kartohadikusuma, Karawang Kencho (Bupati) dan jajarannya di Purwakarta. Selain itu tentu saja tuan rumah Rengasdengklok Guncho (Wedana), dan seluruh jajarannya dari Soncho (Camat), Kucho (Kepala Desa), sampai Kumiai yang menjadi ujung tombak pengumpulan padi. Walau dibayangi perasaan bingung, Soejono tetap berusaha memenuhi perintah tersebut. “Kami berjalan bersama-sama menuju Chudan,“ tutur selanjutnya. Kemudian di tengah perjalanan, anggota Peta itu menjelaskan bahwa tadi pagi telah datang di Chudan serombongan pemuda dari Jakarta mengantar pemimpin kita, Bung Karno dan Bung Hatta. “Ucapan itu seolah-olah ingin lebih menegaskan lagi betapa pentingnya persoalan yang akan dihadapi nanti,” kata Soejono selanjutnya. Di tengah perasaan kaget bercampur bingung yang masih menguasai dirinya, Soejono berusaha menentramkan hatinya. “Setibanya di Chudan, saya dipersilakan menunggu di salah satu rumah yang biasa ditempati Chudancho. Akan tetapi saya tidak melihat keadaan yang mencolok.” tambahnya. Soejono melanjutkan pengalamannya sebagaimana ditulis dalam ceritanya: “kira-kira setengah jam kemudian datanglah pemuda-pemuda dari Jakarta yang terdiri dari seorang yang berpakaian preman, yakni saudara Soekarni dan dua orang berpakaian militer Peta (perwira), yang saya kenal saudara dokter Soetjipto dan saudara Singgih. Kira-kira jam 08.30 Soejono kembali ke pendopo kewedanan. Ternyata para Soncho dan Kucho sudah mulai berdatangan. Demikian pula anggota-anggota pengurus Kumiai (Koperasi Padi/Beras) dan lain-lain pejabat dan petugas. Akan tetapi tamu-tamu dari Karawang-ken (Kabupaten) dan Jakarta-syu (Keresidenan) belum nampak. Memang menurut rencana mereka akan tiba kira-kira jam 10.00 – 10.30. Sesuai dengan tugas yang diberikan, Soejono mulai membagi-bagi tugas: 1. Suncho Batu Jaya ditugaskan menerima tamu dari luar kabupaten dan mengantarkannya ke Chudan. 2. Suncho Pedes diserahi tugas mengumpulkan rakyat dari Pasar Rengasdengklok dan pejabat-pejabat di kantor-kantor sekitar kantor kewedanan. 3. Fuku Guncho (wakil wedana)ditugaskan menyiapkan bendera merah putih dengan ukuran 2x1 meter. Sementara itu saya memikir-mikir apa yang harus saya ucapkan pada waktu upacara bendera nanti. Setelah segala sesuatu siap dan orang-orang sudah banyak berkumpul memenuhi halaman kewedanan, Soejono menyilahkan para kepala desa, Soncho, dan para peserta yang akan mengikuti konferensi mengambil tempat. Mereka berdiri mengelilingi tiang bendera yang terpancang di muka pendopo kewedanan. Kepala pasukan Seinendan diperintahkan supaya menyiapkan beberapa orang anak buahnya untuk bertugas sebagai pengerek bendera. Seinendan dan Keibodan adalah organisasi serba guna yang dibentuk di desa-desa. Dengan suara keras, karena tidak ada pengeras suara ia memulai pidatonya: “Upacara bendera akan segera kita mulai,” katanya. Mendengar hal itu, para peserta mulai diam dan mengarahkan pandangan kepada Soejono yang bertindak sebagai pemimpin upacara. Ia kemudian melanjutkan yang pada intinya: 1. “Saudara-saudara, perhatian, perhatian,”. 2. “Bendera Hinomaru turunkan”. Seinendan yang telah ditunjuk mulai menurunkan bendera Nippon. 3. “Kibarkan sang Merah Putih” Semua orang diam, tak ada suara yang terdengar, seolah-olah mereka menahan napas. Dalam selintas, ia teringat pada pengalaman ketika masih menjadi anggota kepanduan. Katanya: “Mata saya berlinang melihat Sang Merah Putih mulai berkibar. Teringat saya waktu mengibarkan bendera di KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), teringat akan upacara-upacara di Indonesia Muda sambil menyanyikan Indonesia Raya. Pada waktu yang demikian itu biasanya para peserta upacara yang ada di sekililing tiang bendera menghormat Sang Merah Putih dengan “Hormat Besar” (groot saluut).” Upacara pengibaran Bendera Merah Putih pun akhirnya dikibarkan dan menjadi simbol bahwa Indonesia tidak lagi dalam kendali negara manapun baik Jepang ataupun Belanda. Kantor Kewedanaan Rengasdengklok pun menjadi saksi peristiwa penting tersebut.