Bangunan yang sekarang menjadi bagian dari Sekolah Dasar Negeri Pisangsambo I ini sebelumnya merupakan bangunan Sekolah Rakyat yang di bangun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Tujuan dibangunnya sekolah tersebut adalah berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah imperialisme Hindia-Belanda atas dasar kritik dan dorongan dari beberapa elemen, salah satunya Organisasi Pergerakan Nasional pada saat itu. Sekolah Dasar Negeri Pisangsambo I terletak di Desa Pisangsambo, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang, tepatnya berada di Jalan Raya Pisangsambo No.44. Pendidikan dasar dibagi menjadi dua grup. Satu grup dengan bahasa pribumi sebagai pengantarnya, dan satu grup lainnya dengan pengantar bahasa Belanda. Institusi-institusi, khususnya yang didirikan untuk memberi pengajaran kepada penduduk pribumi, telah kita sebutkan di awal, yaitu sejumlah besar "desa" atau sekolah-sekolah desa, terutama yang didirikan dengan tujuan memberantas buta huruf. Kurikulumnya sangat disederhanakan, yakni hanya sepanjang 3 tahun. Membaca, menulis, dan berhitung, adalah cabang-cabang utama yang diajarkan. Sementara itu, mata pelajarannya disesuaikan sebanyak mungkin dengan kelompok harian anak, yang memberi mereka penjelasan-penjelasan tentang tingkah laku, kesehatan, binatang dan tumbuhan, fenomena alam, dan sebagainya. Sekolah-sekolah pribumi kelas kedua atau standar menuntut syarat-syarat lebih tinggi. Tidak hanya menawarkan durasi pengajaran yang lebih panjang (4 hingga 5 tahun), tetapi juga karena pelatihan yang lebih bagus, yang telah dijalani oleh guru-guru yang bekerja di sekolah- sekolah ini. Terdapat pula kelas-kelas lanjutan, yang terdiri atas kelas-kelas yang lebih tinggi. Di sekolah ini pembelajarannya lebih lengkap. Sekolah memberikan kesempatan kepada murid-murid yang secara keseluruhan telah mengikuti sekolah-sekolah "desa" untuk mengikuti rangkaian lengkap pengajaran dasar. Jumlah total sekolah yang didirikan di Hindia Belanda selama tahun 1928 dengan pengantar bahasa pribumi adalah 17.611 (14.702 sekolah pemerintah dan 2.909 sekolah swasta), yang diikuti 1.513.085 siswa. Pendidikan Barat diberikan dalam 3 tipe sekolah dasar, yaitu sekolah Eropa, sekolah Belanda-Tionghoa, dan sekolah berbahasa Belanda. Masing-masing sekolah memiliki kurikulum belajar selama 7 tahun. Menyadari bahwa orang-orang Tionghoa perlu memahami tentang kultur Barat dan anak-anak mereka memerlukan pendidikannya, maka sekolah Belanda-Tionghoa menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pembelajaran di sekolah Belanda-Tionghoa ini sejak awal berdirinya telah berjalan selevel dengan sekolah Eropa. Sementara itu, sekolah berbahasa Belanda berkembang secara perlahan di sekolah-sekolah pribumi/bumiputera secara spesifik. Reorganisasi berbasis Barat membawa sekolah-sekolah bumiputera dan sekolah Belanda-Tionghoa disamakan dengan level sekolah Eropa. Persamaan level ini mengacu pada pengenalan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dari kelas terendah sampai tertinggi. Di sisi lain, pemerintah juga memertimbangkan keterasingan akan bahasa dan kultur Barat ini. Kebijakan tersebut sempat dirasa kurang tepat sehingga bahasa bumiputera tetap diajarkan juga di sekolah-sekolah tersebut. Namun para siswa dari kelas rendah di sekolah-sekolah kelas kedua juga diberikan kesempatan untuk mengikuti pembelajaran di level lebih tinggi dengan pengantar Bahasa Belanda melalui sekolah-sekolah penghubung. Pada akhir 1928, terdapat 786 sekolah di Hindia Belanda yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Sejumlah 473 sekolah adalah milik pemerintah, sedangkan sisanya sebanyak 313 sekolah adalah sekolah kota dan swasta. Peserta didiknya terdiri dari 146.275 siswa. Sebanyak 37.599 adalah keturunan Eropa, 81.281 adalah orang-orang bumiputera, dan 27.395 merupakan keturunan timur asing. Sekolah Rakyat Pisangsambo Bangunan sekolah ini menurut keterangan dari kepala sekolah sekaligus mantan siswa yang pernah bersekolah di sana pada 1971-1977, Hj. Een Suhernah, S.Pd menuturkan bahwa sebelumnya pada 1912 bangunan sekolah berada di Dusun Tangkil, Desa Kutaampel (saat itu masih berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Batujaya), tepatnya berada di sisi tanggul Sungai Citarum atau jaraknya sekitar 1,5 KM dari lokasi saat ini. Pemindahan tersebut sebagai upaya penyelamatan bangunan sekolah dari luapan Sungai Citarum. Pemindahan dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat setempat pada 1928. Bangunan sekolah yang saat ini menjadi bagian dari SDN Pisangsambo I ini sebelumnya menurut penuturan dari beberapa narasumber merupakan bangunan Sekolah Rakyat yang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Sekolah Rakyat dikenal juga sebagai Sekolah Desa atau Volksschool. Sekolah Rakyat didirikan oleh Gubernur Jendral Van Heutz pada 1907. Sekolah ini diselenggarakan oleh Desa dengan bantuan pengajar atau guru dari pegawai desa. Mengutip tulisan dari Nasution dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pendidikan Indonesia, ia menjelaskan bahwa “Sekolah Desa sendiri merupakan sekolah yang diciptakan atas inisiatif Gubernur Jendral Van Heutz dan Menteri Jajahan Fock dengan maksud menyebarkan cahaya di seluruh nusantara. Hanya saja ada perbedaan pendapat di antara keduanya. Menteri Fock menginginkan untuk sekolah Kelas Dua sebagai sekolah umum untuk rakyat yang dapat menghabiskan biaya anggaran. Sementara itu, Van Heutz menginginkan sekolah yang memiliki biaya murah dan sederhana dengan bantuan dari masyarakat secara gotong royong tanpa pembiayaan sedikitpun dari pemerintah. Sekolah versi Van Heutz menjadi bagian integral dari masyarakat desa yang memandangnya sebagai miliknya. Sekolah ini memiliki kurikulum yang tidak mengasingkan anak dari kehidupan agraris desanya. Jam belajar yang berlaku pagi hari mulai dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 12.00. Kemudian jam belajar sore berlangsung antara pukul 13.00-15.00. Namun pada akhirnya Sekolah Desa sering dikecam karena kurikulumnya yang sederhana dan mutu guru serta pendidikannya rendah. Sekolah ini juga membawa keuntungan karena menambah angka orang yang melek huruf, juru tulis, dan kepala kampung" (1983, 77-78). Pembangunan Sekolah Rakyat pada saat itu merupakan bangunan sekolah di bawah wilayah administrasi Batavia (Jakarta). Hal tersebut juga terlihat dari Buku Absen yang masih tersisa pada 1920 dan di bagian kop nya tertulis Batavia. Kemudian pada 1925 setelah Krawang (Karawang) menjadi Karesidenan sendiri, sekolah ini berada di wilayah tanggungjawab Kawedanaan Rengasdengklok. Pendirian Sekolah Rakyat ini juga sekaligus menjadi bukti sejarah Kebijakan Politik Etis di wilayah Karawang pada awal abad ke-19.