KOMPENSASI MASA PENJAJAHAN DAN UTANG BUDI TERHADAP KELUARGA KORBAN PEMBANTAIAN
KOMPENSASI MASA PENJAJAHAN DAN UTANG BUDI TERHADAP KELUARGA KORBAN PEMBANTAIAN
Dharma PG

Peristiwa Rawagede pada 1947 terjadi semasa berlangsungnya Perjanjian Renville di Teluk Jakarta. Delegasi RI saat itu menyatakan kutukan keras terhadap kebiadaban yang dilakukan oleh Belanda dan mengajukan protes. Berita Indonesia, salah satu harian surat kabar di bawah pimpinan S. Tahsin mewartakan bahwa Belanda justru berusaha menyangkal kekejaman itu dan membridel surat kabar yang menyiarkan berita tersebut. Setelah 47 tahun berlalu, yaitu pada Agustus 1995, kala Ratu Beatrix berkunjung ke Indonesia, kekejaman Belanda pada masa revolusi baru diakui. Kunjungan Ratu Beatrix ke Indonesia saat itu membawa polemik. Di Belanda, orang-orang menuntut agar Ratu meminta maaf kepada rakyat dan bangsa Indonesia atas kebiadaban militernya di masa lalu. Ratu Beatrix tidak melakukannya. Suharto yang saat itu menjamunya di Istana Merdeka bermaksud menghormatinya dan menegaskan bahwa Indonesia dan Belanda sama-sama belajar dari masa lalu serta berupaya membangun hubungan baru pada masa mendatang yang berasaskan dasar dan tujuan baru. “Buat apa mengkorek-korek luka lama. Itu tidak perlu. Kita bukan model bangsa yang demikian. Pemerintah menganggap masa lalu sudah selesai.” (Kompas, 22 Agustus 1995) Pernyataan tersebut diucapkan oleh Jenderal Moerdiono di hadapan pers ketika menjabat sebagai Menteri/ Sekretaris Negara. Adalah sebuah ironi ketika orang-orang Belanda justru menuntut agar ratunya meminta maaf, tetapi pemerintah orde baru dengan mudahnya menganggap persoalan tersebut sudah selesai. Di sisi lain ada komunitas militer/ veteran yang memohon keterbukaan atas isu kekejaman perang yang dilakukan Belanda itu. Ada seorang psikolog sekaligus pensiunan kolonel bernama Jan Van Meden yang menjadi penasihat dari berbagai forum veteran dan sebuah federasi dari asosiasi veteran yang berdiri pada 1989. Van Meden adalah keturunan Indo-Eropa. Keluarganya memiliki sejarah panjang dalam dinas militer selama masa penjajahan. Sebagai psikolog, Van Meden menangani para veteran yang memiliki trauma. Ia sangat memahami para veteran dengan baik. Van Meden bahkan dimintai keterangan di sebuah program berita televisi tentang perdebatan bahwa Belanda adalah penjajah atau penjahat. Hal itu terjadi menjelang kunjungan kenegaraan Ratu Beatrix ke Indonesia. Van Meden menceritakan bahwa banyak veteran yang datang padanya dan memiliki kenangan traumatik. Mereka masih membawa ingatan tentang banyaknya kebakaran di kampung, penyiksaan, dan eksekusi tawanan perang di Indonesia. Van Meden mengakui bahwa masih banyak terdapat peristiwa lain pada masa itu. Oleh karena itu, masih perlu penelitian akademis sebagai tindak lanjut untuk memeriksa antara rumor dan mitos yang beredar tentang isu itu. Pada 1998, ruang sosial bagi berbagai kategori korban mulai terbuka secara bertahap untuk menampung tuntutan atas keadilan dan keprihatinan yang terjadi. Pemerintah pusat tidak lagi memiliki kendali dan mendikte tentang hal-hal yang bisa dan tidak bisa diatasi dalam perang publik. Pada 1999, K. Sukarman, HD., BBA, salah seorang anak janda korban mendirikan perkumpulan untuk mendukung para janda korban pembantaian di Rawagede. Di sisi lain, para aktivis di Belanda juga mencoba menekan pemerintah Belanda agar bertanggung jawab atas eksekusi massal yang terjadi di Rawagede pada 1947. Mulanya aktivitas-aktivitas ini tidak berhasil, padahal segala bentuk upaya untuk menjalin dialog di antara para janda korban dengan seorang perwakilan pemerintah Belanda telah dilakukan. Upaya untuk mendapatkan keadilan dan kompensasi terus dilakukan. Pada 18 Desember 2005, Batara Richard Hutagalung, mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Cabang Belanda di Wisma Indonesia, Den Haag. Batara adalah orang Indonesia yang menempuh pendidikan di Jerman dan memiliki tekad untuk memaksa pemerintah Belanda agar bertanggungjawab atas warisan kekerasan kolonialnya. Akhirnya pada 2011, pemerintah Belanda melalui Perdana Menteri Rutte meminta maaf kepada para janda Rawagede. Kasus yang terjadi di Rawagede dan Pembantaian Westerlink di Sulawesi Selatan telah berhasil dibawa ke pengadilan Belanda. Pemerintah Belanda berhasil dipaksa untuk mengeluarkan permohonan maaf dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban dari kedua peristiwa tersebut. Kantor berita AFP memberitakan bahwa pemerintah Belanda meminta maaf secara terbuka atas serangkaian eksekusi yang dilakukan oleh tentara mereka selama masa revolusi. Mark Rutte juga mengatakan bahwa Belanda akan membayar kompensasi sebesar 20 ribu euro atau setara dengan Rp. 280.000.000,00 kepada 10 janda korban pembantaian. Namun permintaan maaf itu hanya untuk kasus-kasus yang menyangkut ‘ekses’. Pihak Belanda tidak melihat adanya tindak kejahatan perang sebagaimana yang didefinisikan oleh pelanggaran Konvensi Jenewa. Belanda memahami bahwa dalam konteks perang terdapat tindakan melindungi penduduk serta memulihkan ketertiban dan perdamaian. Dalam semua perang pasti terdapat korban yang jatuh sebagai konsekuensi dari sesuatu yang tidak terelakkan dan normal dalam kondisi perang. Selain itu, pemerintah Belanda juga pernah mengklaim bahwa aksi tersebut layaknya upaya polisi yang menangkap para bandit. Dalam Associated Press pernah ditulis bahwa pemerintah Belanda menolak memberikan kompensasi kepada janda korban, keluarga serta keturunannya dengan alasan tragedi 9 Desember 1947 itu sudah kedaluwarsa. Referensi: Moses, A. Dirk, Bart Littikhuis, Colonial Counterinsurgency and Mass Violence: The Dutch Empire in Indonesia, New York: Routledge 2018. Batara Richard Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta: LKis, 2010. Budi Riza, Nanang Sutisna, Majalah Tempo Edisi 8-14 Desember 2008, Jakarta: Tempo Publishing. Oost Indie, Gert, Ireen Hoogenboom, dan Jonathan Verwey, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor dan KITLV, 2016. Ismail, Asih Widiarti, dkk., Tragedi Rawagede dan Misteri Kapten Lukas, Jakarta: Tempo Publishing, 2023. Maluwi Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Jakarta: Visimedia, 2008. “Belanda Minta Maaf Atas Pembantaian 1945-1949” dalam Menggugat Westerling, Jakarta: Tempo Publishing, 2020.

KOMPENSASI MASA PENJAJAHAN DAN UTANG BUDI TERHADAP KELUARGA KORBAN PEMBANTAIAN
Komentar
  • Previous
  • 1
  • Next